BAB
I
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2005, isu mengenai profesionalisme guru
gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan
tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan
tunjangan profesi guru. Ketiga factor tersebut merupakan latar yang disinyalir
berkaitan erat dengan kualitas pendidikan.
Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi
yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang
dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat
dibuktikan dengan perolehan sertifikasi
guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang
ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi,
telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi.
Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa
guru telah memiliki kompetensi.
Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu
(1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan
(4) kompetensi kepribadian. Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang
diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa
mereka telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah
kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat
setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses
belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang
unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal
bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang
hayat.
Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru,
diperlukan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan
oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru
merupakan indicator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri. Manajemen pengembangan
kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan
dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi
kesempurnaan tugas pekerjaannya.
Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutupi kelemahankelemahan yang
tak tampak pada waktu seleksi, (3) mengembangkan sikap profesional, (4)
mengembangkan kompetensi profesional, dan (5) menumbuhkan ikatan batin
antaraguru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kompetensi guru adalah (1) bimbingan dan tugas, (2)
pendidikan dan pelatihan, (3) kursus-kursus, (4) studi lanjut, (5) promosi, (6)
latihan jabatan, (7) rotasi jabatan, (8) konferensi, (9) penataran, (10)
lokakarya, (11) seminar, dan (12) pembinaan profesional guru (supervisi
pengajaran).
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Ø Fenomena
dunia pendidikan kita saat ini
Setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan
kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu : issu seputar masalah guru,
kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah
dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar.
a. Issu seputar masalah guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi
guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian
terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal
maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas
pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang
berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia,
telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di
Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi
fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu
mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai
penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai
orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara
global.
Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru
sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi
panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya
sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.
Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang
mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang
berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama,
masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang,
ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
1. Masalah kualitas guru
Realitas semacam ini, pada akhirnya akan
mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana
seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang,
bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan
proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
2. Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan
kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu,
jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan
masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi
lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses
belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak
lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar
yang maksimal.
3. Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata,
merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di
daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam
suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti
masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang
diharapkan.
4. Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat
kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru,
dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus
sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang
sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok
mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka
mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat
meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan
praktek bisnis di sekolah.
b.
Kebijakan pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai
institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat
dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional
dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih
mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun
peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam
Konteks ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini.
Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan
strategi jangka panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita.
Sudah barang tentu, UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam
berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan
Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para
pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah
pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional.
UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari
APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun terkadang situasi dan kondisi tidak
memungkinkan untuk pengalokasian dana 20% tidak terealisasikan dengan benar
c.
Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum
dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung
pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak
swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit banyak
akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta
secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan
sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung
akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya
memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang
keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban
tersendiri bagi ekonomi keluarga.
Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang
cenderung membedakan berbabagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta,
secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia
pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak
membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di
kelola oleh pihak swasta.
d.
Saran dan prasarana sekolah
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu
kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang
masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta
faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai.
Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun
kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian
proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupak beberapa kendala nyata
yang masih kita hadapi.
Ø Profesionalisme
guru sebagai sebuah tuntutan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme
guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring
dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi
seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli
di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat
berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut
kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor
tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu
keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia.
Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga
seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah
strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru,
yaitu :
1.
Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah
satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi
sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan
akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan
kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara
ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan
amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan
setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi
sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah,
sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki
para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
2.
Perlunya perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai
profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar
menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran
tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi
sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik,
tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling
melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses
pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana
yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai
proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek
yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual
berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar
mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai
IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ
(Spiritual Quotes).
3.
Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang
profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang
karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka,
sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
4.Peningkatan
kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam
konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma
professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak
pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan
tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai
profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang
tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. (Angelina Sondakh)
Ø Standar Profesional Guru
Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan
disadari satu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan
mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki
kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa
depan.
Dalam kaitan mempersiapkan guru yang berkualitas
dimasa depan, dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini dihadapkan pada
persoalan bagaimana meningkatkan kualitas sekitar 2 juta guru yang sekarang ini
sudah bertugas di ruang-ruang kelas.
A. Kualitas dan karir
Pada dasarnya peningkatan kualitas diri
seseorang harus menjadi tanggung jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha
peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan
adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan
kualitas kerja sebagai pengajar profesional.
Kesadaran ini akan timbul dan berkembang sejalan
dengan kemungkinan pengembangan karir mereka. Oleh karena itu pengembangan
kualitas guru harus dikaitkan dengan perkembangan karir guru sebagai pegawai,
baik negeri maupun swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa pendapatan dan
karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari
peningkatan kualitas seseorang selaku guru.
Urutan proses
di atas menunjukkan bahwa jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi hanya
bisa dicapai oleh guru yang memiliki kualitas profesional yang memadai. Sudah
barang tentu alur pikir tersebut didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan
jenjang kepangkatan dan jabatan guru berjalan seiring dengan peningkatan
pendapatannya.
Proses dari
timbulnya kesadaran untuk meningkatkan kemampuan profesional di kalangan guru,
timbulnya kesempatan dan usaha, meningkatnya kualitas profesional sampai
tercapainya jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi memerlukan iklim yang
memungkinkan berlangsungnya proses di atas. Iklim yang kondusif hanya akan
muncul apabila di kalangan guru timbul hubungan kesejawatan yang baik,
harmonis, dan obyektif. Hubungan tersebut bisa dimunculkan antara lain lewat
kegiatan profesional kesejawatan.
Dengan
demikian, untuk pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu dikembangkan
kegiatan professional kesejawatan yang baik, harmonis, dan obyektif. Secara
sistematis pengembangan kesejawatan ini memerlukan:
- wadah
/kelembagaan
- bentuk
kegiatan,
- mekanisme,
- standard professional practice.
B. Wadah dan kelembagaan
Wadah dan kelembagaan untuk pengembangan
kesejawatan adalah kelompok yang merupakan organ bersifat non-struktural dan
lebih bersifat informal. Wadah ini dikembangkan berdasarkan bidang studi atau
rumpun bidang studi pada masing-masing sekolah. Anggota yang
memiliki kepangkatan tertinggi dalam setiap rumpun diharapkan bisa
berfungsi sebagai pembimbing.
Kalau ada anggota memiliki kepangkatan yang
sama, maka diharapkan secara bergiliran salah satu darinya berfungsi sebagai
pembimbing anggota yang lain. Dengan bentuk wadah dan kelembagaan semacam ini
maka di setiap sekolah akan terdapat lebih dari satu kelompok.
Keberadaan kelompok akan memungkinkan para guru
untuk bisa tukar fikiran dengan rekan sejawat mengenai hal ikhwal yang
berkaitan interaksi guru dengan para siswa. Bagi seorang pekerja profesional,
termasuk guru, komunikasi kesejawatan tentang profesi yang ditekuni sangatlah
penting. Namun sayangnya, justru komunikasi kesejawatan inilah yang belum ada
di kalangan profesi guru di tanah air kita.
C. Asah, asuh, asih
Kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan
di mana antara anggota sejawat bisa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan
kualitas diri masing-masing khususnya dan mencapai kualitas sekolah serta
pendidikan pada urnumnya.
Asah artinya satu dengan anggota sejawat yang
lain saling membantu untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Asuh berarti
di antara anggota kesejawatan saling membimbing dengan tulus dan ikhlas untuk
peningkatan kemampuan profesional dan asih berarti di antara anggota
kesejawatan terdapat hubungan kekeluargaan yang akrab.
Oleh karena
itu kelompok yang beranggotakan para guru suatu bidang studi sejenis harus
menitik-beratkan pada aktifitas profesional.
Secara terperinci kegiatan kelompok ditujukan
untuk:
1.
Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar.
Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain :
a. Diskusi tentang satuan pelajaran.
b. Diskusi tentang substansi meteri pelajaran.
c. Diskusi pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk
evaluasi pengajaran.
d. Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawat di
kelas.
e. Mengembangkan evaluasi penampilan guru oleh peserta
didik.
f. Mengkaji hasil evaluasi penampilan guru oleh peserta
didik sebagai feedback bagi anggota kelompok.
- Meningkatkan
penguasaan dan pengembangan keilmuan, khususnya bidang studi yang menjadi
tanggung jawabnya. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
a. Kajian jurnal
dan buku baru.
b. Mengikuti jalur pendidikan formal yang lebih
tinggi.
c. Mengikuti seminar-seminar dan
penataran-penataran.
d. Menyampaikan pengalaman penataran dan seminar kepada
anggota kelompok.
e. Melaksanakan penelitian.
- Meningkatkan
kemampuan untuk mengkomunikasikan masalah akademis.
Kegiatan yang
dilaksanakan antara lain:
a. Menulis
artikel.
b. Menyusun laporan
penelitian.
c. Menyusun
makalah.
d. Menyusun laporan
dan review buku.
D. Mekanisme
Kegiatan
kelompok dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Sebagaimana konsep
asah, asuh dan asih, maka setiap anggota kelompok memiliki hak, kewajiban dan
kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan tanpa memandang jenjang kepangkatan,
jabatan dan gelar akademik yang disandangnya. Secara bergiliran setiap anggota
melaksanakan kegiatan sebagaimana disebutkan di atas.
Input, feedback, komentar
dan saran-saran sejawat atas penampilan salah seorang anggota kelompok
kesejawatan diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan sesuai dengan
kebutuhan. Untuk hasil observasi kelas, misalnya kelompok kesejawatan mungkin
bisa mengembangkan format observasi bisa dilaksanakan secara sistematis,
objektif dan rasional, sehingga anggota yang diobservasi bisa memperoleh input
tertulis di samping juga input lisan.
Secara
periodik ketua-ketua kelompok kesejawatan di setiap bidang studi di sekolah
bisa mengadakan diskusi atau pertemuan guna membahas kemajuan dan perkembangan
kelompok masing-masing.
E. Standar Profesional Guru
Pada dasarnya kelompok yang diuraikan di atas
adalah merupakan wadah aktifitas profesional untuk meningkatkan kemampuan
profesional guru. Aktifitas yang dimaksudkan ini tidak bersifat searah,
melainkan bersifat multiarah. Artinya, aktifitas yang dilaksanakan bersifat
komprehensif dan total yang mencakup presentasi, observasi, penilaian, kritik,
tanggapan, saran, dan bimbingan.
Untuk
menjamin bahwa kegiatan kelompok bisa berlangsung dengan baik, sehingga dapat
diujudkan hubungan timbal balik kesejawatan yang obyektif bebas dari rasa rikuh,
pekewuh dan sentimen perlu dikembangkan suatu norma kriteria yang
obyektif sebagai dasar untuk saling memberikan penilaian terhadap karya dan
penampilan sejawat.
Akan lebih
baik kalau norma dan kriteria ini harus dikembangkan oleh masing-masing
kelompok kesejawatan itu sendiri. Sudah barang tentu pengembangan norma dan
kriteria kesejawatan ini berdasarkan acuan kerangka teoritis dan praktis yang
bisa dikaji. Misalnya norma dan kriteria untuk menilai proses belajar mengajar
yang baik bisa dikembangkan berdasarkan "kerangka perilaku" guru yang
baik.
BAB III
KESIMPULAN
Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat
dihindari dalam era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat
dewasa ini, dimana persaingan yang semakin kuat dan proses transfaransi
disegala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru sebagai sebuah profesi
yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus
bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan semakin signifikan dimasa yang akan
datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga
pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penangan lebih serius.
Profesinalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat di tawar-tawar
lagi.
Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah
profesi yang berkualitas diamana secara empiris dapat dipertanggung jawabkan,
memerlukan keterlibatan banyak pihak dan stakeholders, termasuk pemerintah
sebagai penyelengara Negara. Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan
memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan
kapabilitas yang sesuai dengan bidang ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi
tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal lebih mengarah pada guru itu
sendiri, baik secara individual maupun secara institusi sebagai sebuah entitas
profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat
dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan
sebuah komitmen yang dapat dapat dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah
maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara
professional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu
keahlian yang lebih spesifik.
Faktor ekternal dalam konteks ini, lebih terkait
pada bagaiamana kebijakan pemerintah dalam menodorong dan menciptakan kebijakan
maupun atmosfir yang dapat merangsang dan melahirkan guru-guru yang
profesional. Hal yang paling mendasar berkaitan dengan masalah ini adalah issu
kesejahteraan bagi para guru, agar mereka dapat benar-benar fokus pada peran
dan fungsinya sebagai tenaga pendidik.