Selasa, 17 April 2012

Filsafat Kimia


Ilmu  kimia adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang susunan, struktur, sifat, perubahan serta energi yang menyertai perubahan suatu materi. Berfikir radikal merupakan awal lahirnya kimia. Dahulu, ilmuwan menganggap secara radikal atau bebas tentang definisi atom dan model atom. Pikiran radikal diperoleh dari dari kemauan dan kemampuan suatu otak untuk memikirkan sesuatu yang abstrak ataupu empriris. Cara berpikir radikal ini, mempunyai manfaat yang besar dalam perkembangan dunia kimia. Salah satu mendorong ilmuwan untuk melakukan perenungan berpikir untuk menemukan kelanjutan dari pikiran radikalnya. Banyak sekali muncul teori-teori tentang atom yang yang diawali oleh berfikir yang pokok atau fundamental dari fenomena dasar mengenai penyusun suatu materi. Misalkan kita membahas “air”, maka secara sederhana yang dipelajari oleh ilmu kimia tentang air adalah mengenai Bagaimana atom-atom hidrogen dan oksigen tersusun dalam sebuah molekul air dengan membentuk struktur molekul, bagaimana sifat-sifat air dihubungkan dengan susunan dan struktur tadi, perubahan apa yang terjadi pada air, dan berapa besar energi yang dihasilkan atau diserap pada perubahan tersebut.
Ciri pemikiran filsafat ini yang menginspirasikan paradigma pemahaman terhadap ilmu kimia. Sesuai pemikiran filsafat belajar itu harus menyeluruh/integral. Paradigma ini memunculkan suatu cara berfikir,jika saya ingin memahami kimia secara menyeluruh maka paradigma saya harus mempelajari ilmu kimia bukan materi kimia. Pemahaman ini muncul, karena jika saya hanya belajar materi kimia jadi saya hanya belajar dari bagian kecil kimia. Padahal ilmu kimia lebih luas dan menyeluruh. Ketika kita belajar ilmu kimia maka akan diperoleh pemahaman yang integral karena konsep, teori, hokum dalam kimia adalah satu dengan yang lainnya saling berikatan. Berbeda jika kita belajar materi kimia maka kita hanya mendapatkan bagian dari teori, konsep, maupun hokum kimia tertentu. Contohnya ; kita belajar hanya kimia organik saja, maka tentang energetika kmia tidak dicakupnya sehingga pada reaksinya kurang memahami energi yang menyertainya 
Hakekat ilmu kimia adalah bahwa benda itu bisa mengalami perubahan bentuk, maupun susunan partikelnya menjadi bentuk yang lain sehingga terjadi deformasi, perubahan letak susunan, ini mempengaruhi sifat-sifat yang berbeda dengan wujud yang semula.
Fakta yang terdapat di alam mempunyai banyak hubungan dengan ilmu kimia. Dari ciri pemikiran filsafat yang telah saya pelajari mempunyai arti besar dalam menumbuhkan sikap kritis terhadap suatu fakta. Sikap kritis ini merangsang otak untuk mengajukan berbagi pertanyaan terhadap fenomena yang ada. Sebagai contoh ; fakta kimia yaitu korosi. Dari sikap kritis muncul pertanyaan ; apa yang menyebabkan korosi, bagaimana proses korosi, mengapa terjadi korosi, di mana terjadi korosi, dan seterusnya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab setelah dilakukan pengolahan informasi melalui suatu analisis yang pajang. Sebagian besar konsep, teori, dan hukum kimia merupakan produk dari proses kritikisasi dan analisis fakta yang ada sehingga diperoleh konsep, teori, dan hukum kimia secara ilmiah. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu. Secara detail, tidak mungkin bahasan epistemologi terlepas sama sekali dari ontologi dan aksiologi. Apalagi bahasan yang didasarkan model berpikir sistematik, justru ketiganya harus senantiasa dikaitkan.
Dalam mencari jawaban suatu masalah filsafat mempunyai suatu sistem pengetahuan yang rasional secara runtut. Keruntutan sistem tersebut sering disebut metode ilmiah atau nalar ilmiah. Dalam ilmu kimia banyak teori maupun hukum kimia diperoleh dari proses nalar ilmiah atau metode ilmiah. Contoh ; batu baterai sebagai sumber listrik. Pembuat batu baterai merupakan hasil dari proses pemikiran ilmia yang panjang. Berawal dari suatu hipotesis bahwa reaksi kimia merupakan interaksi antara muatan positif dan negatif sehingga terjadi arus listrik. Jawaban-jawaban atau analisis-analisis diperoleh dengan melakukan eksperimen mengenai sel yang bisa menghasilkan arus listrik. Dari jawaban-jawaban yang diperoleh membawa suatu kesimpulan bahwa listrik dapat dihasilkan oleh larutan elektrolit yaitu larutan yang bias menghantarkan arus listrik jika terjadi reaksi kimia. Sehingga muncul sel sumber arus listrik yang ditemukan misalnya, sel volta, penyepuhan emas, aki, batu baterai dan lain-lain. Semua itu diperoleh dari proses nalar ilmiah. Dalam pengambilan kesimpulan digunakan penalaran suatu kebenaran yang dapat diterima oleh logika sehingga dalam berlaku konsisiten karena universal.
Terkadang ilmu kimia berkembang dari aksioma-aksioma karena adanya konsep-konsep sebelumya. Fakta yang ada menjadi anomali terhadap pembuktian teori yang ditemukan.
Tetapi ilmu kimia mengasumsikan bahwa teori dapat menjawab suatu fakta yang ada. Di sini ada kontradiksi cara berfikir. Jika filsafat semuanya konseptual tetapi ilmu kimia konseptual yang dianomali oleh fakta. Menurut saya hal ini disebabkan karena dinamika objek ontologi ilmu kimia yang sifat dan karakteristiknya selalu dinamis. Misalnya, air mendidih secara teori pada suhu 100oc tetapi fakta menunjukan bahwa air mendidih pada suhu >100oC pada daerah pegunungan.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa hakekat ilmu kimia adalah bahwa benda itu bisa mengalami perubahan bentuk maupun susunan partikel. Setelah kita mengetahui bahwa wujud itu bisa berubah dari bentuk satu ke wujud yang lain, kita harus mengetahui bahwa perubahan itu akan membawa manfaat atau justru mudharat.    Wilayah ontologi dan epistemologi sudah terpenuhi, tetapi belum tentu pada wilayah aksiologi. Untuk itu wilayah aksiologi menjadi penting untuk dikaji bagi ilmuan kimia.
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kasasan simbolik, ataupun fisik materiil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi sebagai suatu Condition Quanon yang wajib dipatuhi dalam kegiatan penelitian maupun dalam penerapan ilmu
Timbulnya persepsi buruk masyarakat terhadap kimia sebetulnya karena manusia terlalu acuh tak acuh dengan wilayah aksiologi kimia itu sendiri. Seolah-olah tugas manusia telah selesai di tataran epistemologi dan ontologi saja, padahal wilayah aksiologilah yang paling menentukan apakah ilmu kimia itu membawa manfaat atau justru mudharat. Padahal ilmu kimia tidak bisa lepas dari nilai, begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain. Semua tidak bisa lepas dari nilai, karena yang manusia temukan pasti mempunyai tujuan tersendiri.
Bahan pangan yang beredar di tengah masyarakat yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti : tahu, bakso yang mengandung bahan formalin, pengawet. Krupuk yang kita konsumsi pun tak luput dari bahan racun kimia “boraks”. Bahkan, minuman es di kantin-kantin maupun yang dijual dipinggir jalan diindikasikan bahwa bahan pewarnanya tak lain bahan yang sama untuk pewarna kain. Mengatasnamakan kecantikan bahan kosmetik, alat kecantikanpun tak luput dari racun-racun berbahaya, mercuri, yang berakibat paling fatal yakni kematian
Contoh lain dalam bidang militer, kimia seolah menjadi landasan untuk menciptakan senjata yang paling menakutkan, efisien dan berdaya guna yang hebat, sekali blaar sasaran langsung klepek, tak berkutik alias mati. kemengangan telah dicapai. Masih ingatkah tentang dahsyatnya bom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki? Sebuah bom atom yang telah memporakporandakan segala yang ada, entah manusia, gedung atau yang lain, semunya hancur oleh dahsyatnya bom atom. Sebuah bom yang lahir dari gagasan mengenai teori fisi sebuah atom: sebuah atom bisa dipecah menjadi beberapa atom yang lain dengan menembakan sinar tertentu terhadap unsur kimia tertentu, biasanya Uranium, yang akhirnya tercipta unsur-unsur baru dengan melepaskan energi yang sangat spektakuler serta sinar radiasi yang mematikan. Munkin daya ledak hanya tercipta bersamaan dengan jatuhnya bom, akan tetapi sinar-sinar radioaktifnya bisa bertahan sampai waktu yang sangat panjang.
Contoh kasus di atas adalah contoh pengembangan ilmu kimia yang disalah gunakan yang ditemukan hanya dengan tataran ontologi dan epistemologi tapi tanpa memandang wilayah aksiologi. Para pelaku tersebut paham konsep dan proses ilmu yang ditemukan tetapi tidak mempedulikan nilai dari ilmu tersebut, sehingga ilmu yang ditemukan hanya akan membawa kemudharatan bagi masyarakat.
Jika setiap manusia menemukan ilmu dengan memandang wilayah aksiologi, maka ilmu tersebut akan memiliki nilai yang tinggi. Contoh terapan ilmu kimia yang memandang wilayah aksiologi yaitu mengenai peluruhan atom yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Peluruhan atom telah diketahui oleh ilmuwan, bahwa dalam proses peluruhan atau fisi sebuah unsur akan disertai pelepasan energi beberapa elektron yang tentunya dapat dimanfaatkan, misalkan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir.
Jadi wilayah aksiologi ini berhubungan dengan hati nurani manusia dan agama yang berbicara. Akan tetapi, jika mengacu pada proses timbulnya ilmu kimia bahwa bermacam-macam wujud yang ada ini pada dasarnya berasal dari wujud tunggal, dalam Islam adalah bahwa segala yang ada itu berasal dari wujud Allah, sudah selayaknya jika kehadiran ilmu kimia ini ditarik lagi ke wujud tunggal tersebut yaitu digunakan untuk menyenangkan sesama makhluk Tuhan.
Filsafat sebagai fasilitator ilmu kimia hanyalah sebatas untuk mengorek isi yang terkandung dalam wilayah kimia serta mencari gejala-gejala ilmiah yang ada di alam semesta ini yang akhirnya dimasukkan ke wilayah ilmu kimia. Tanpa filsafat yang mengorek mengenai sesuatu yang tersembunyi di tubuh alam semesta ini maka perkembangan ilmu, khususnya kimia, hanya akan mengalami stagnansi, kemandekan. Jika ini terjadi berarti lonceng kematian bagi peradaban manusia telah dimulai dan manusia akan kembali pada zaman batu. Buku kemajuan manusia modern telah ditutup. Maka, berfilsafat merupakan syarat dasar bagi kemajuan sebuah ilmu pengetahuan dalam hal ini khususnya ilmu kimia dan agama menjadi penuntun ke mana ilmu pengetahuan akan dibawa. Disinilah fungsi manusia sebagai khalifah untuk menjadi perekayasa sehingga dunia ini bersifat sustainable atau berkelanjutan sehingga bumi ini akan terwariskan hingga akhir zaman.







Fenomena Dunia Pendidikan



BAB I
PENDAHULUAN

Sejak tahun 2005, isu mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting, yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga factor tersebut merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan.
Guru profesional yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten dapat dibuktikan  dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai menurut ukuran Indonesia. Sekarang ini, terdapat sejumlah guru yang telah tersertifikasi, akan tersertifikasi, telah memperoleh tunjangan profesi, dan akan memperoleh tunjangan profesi. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi.
Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian. Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat.
Untuk memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan manajemen pengembangan kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena peningkatan kompetensi guru merupakan indicator peningkatan profesionalisme guru itu sendiri. Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya.
Pengembangan kompetensi guru didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arus globalisasi dan informasi, (2) menutupi kelemahankelemahan yang tak tampak pada waktu seleksi, (3) mengembangkan sikap profesional, (4) mengembangkan kompetensi profesional, dan (5) menumbuhkan ikatan batin antaraguru dan kepala sekolah. Secara teknis, kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kompetensi guru adalah (1) bimbingan dan tugas, (2) pendidikan dan pelatihan, (3) kursus-kursus, (4) studi lanjut, (5) promosi, (6) latihan jabatan, (7) rotasi jabatan, (8) konferensi, (9) penataran, (10) lokakarya, (11) seminar, dan (12) pembinaan profesional guru (supervisi pengajaran).














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Ø  Fenomena dunia pendidikan kita saat ini
Setidak tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan kita saat ini, yaitu : issu seputar masalah guru, kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara, manajemen internal sekolah dan issu sarana dan prasarana belajar mengajar.
a.         Issu seputar masalah guru
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filsofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial budaya Jawa misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru kita.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masaah kesejahteraan guru.
1.         Masalah kualitas guru
Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
2.         Jumlah guru yang masih kurang
Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.
3.         Masalah distribusi guru
Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.
4.         Masalah kesejahteraan guru
Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.



b.  Kebijakan pemerintah
Tidak dapat disangkal lagi bahwa pemerintah sebagai institusi penyelenggara Negara mempunyai peranan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pemerintah, pada dasarnya dapat dikatagorikan dalam dua bentuk, yaitu kebijakan yang bersifat konstitusional dan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan konstitusional lebih mengarah pada bagaimana pemerintah menetapkan perundang-undangan maupun peraturan-peraturan untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional kita. Dalam Konteks ini, beberapa langkah maju telah dicapai oleh pemerintah saat ini. Lahirnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan strategi jangka panjang dalam membenahi carut marut dunia pendidikan kita. Sudah barang tentu, UU tersebut masih diperlukan penjabaran lebih lanjut dalam berbagai bentuk peratutan-peraturan yang berada dibawahnya, termasuk issu Badan Hukum Pendidikan (BHP), peraturan perbukuan maupun issu sertifikasi bagi para pengajar untuk meningkatkan standar kualitas mereka.
Kebijakan operasioanal pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan alokasi anggaran yang ditujukan bagi sektor pendidikan nasional. UU No. 20 Tahun 2003, memang telah mengamanatkan untuk menglaokasikan 20% dari APBN/APBD untuk sektor pendidikan. Namun terkadang situasi dan kondisi tidak memungkinkan untuk pengalokasian dana 20% tidak terealisasikan dengan benar

c.  Manajemen sekolah
Manajemen pendidikan di Indonesia, secara umum dikatagorikan dalam dua kelompok yaitu yang diatur dan dibawah kendali langsung pemerintah (sekolah negeri) dan sekolah-sekolah yang di kelola oleh pihak swasta (sekolah swasta). Perbedaan manajemen ini pada akhirnya, sedikiit banyak akan mempengaruhi mutu dan kualitas anak didik di masing-masih sekolah serta secara tidak langsung telah ikut menciptakan “ketimpangan” dalam pengelolaan sekolah. Bagi para keluarga yang secara ekonomi mapan, maka mereka cenderung akan mampu memasukkan anak-anaknya pada sekolah-seklah favorit yang biasanya memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Begitu pula sebaliknya, bagi yang keluarga yang kurang mampu, biaya sekolah dirasakan mahal dan menjadi beban tersendiri bagi ekonomi keluarga.
Belum lagi kebijakan pemerintah dimasa lampau yang cenderung membedakan berbabagai bentuk bantuan untuk sekolah negeri dan swasta, secara langsung maupun tidak telah ikut memperparah ketimpangan dunia pendidikan. Dalam konteks ini, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk tidak membedakan antara sekolah yang di kelola oleh Negara maupun sekolah yang di kelola oleh pihak swasta.
d. Saran dan prasarana sekolah
Sarana dan prasarana sekolah, merupakan salah satu kendala yang masih dihadapi oleh dunia pendidikan kita. Kemampuan keuangan yang masih terbatas, salah kelola maupun tingkat KKN yang masih tinggi serta faktor-faktor lain, telah menyebabkan kondisi sekolah masih jauh dari memadai. Mulai dari jumlah gedung yang rusak, ruang kelas yang terbatas maupun kelengkapan alat-alat laboratorium yang sangat dibutuhkan dalam pencapaian proses belajar mengajar yang belum maksimal, merupak beberapa kendala nyata yang masih kita hadapi.
Ø  Profesionalisme guru sebagai sebuah tuntutan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :
1. Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
2. Perlunya perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
3. Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
4.Peningkatan kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan. (Angelina Sondakh)
Ø  Standar Profesional Guru

Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan disadari satu kebenaran fundamental, yakni bahwa kunci keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, yang memiliki kekuatan dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan di masa depan.

Dalam kaitan mempersiapkan guru yang berkualitas dimasa depan, dunia pendidikan di Indonesia dewasa ini dihadapkan pada persoalan bagaimana meningkatkan kualitas sekitar 2 juta guru yang sekarang ini sudah bertugas di ruang-ruang kelas.

A. Kualitas dan karir

Pada dasarnya peningkatan kualitas diri seseorang harus menjadi tanggung jawab diri pribadi. Oleh karenanya usaha peningkatan kualitas guru terletak pada diri guru sendiri. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pengajar profesional.
Kesadaran ini akan timbul dan berkembang sejalan dengan kemungkinan pengembangan karir mereka. Oleh karena itu pengembangan kualitas guru harus dikaitkan dengan perkembangan karir guru sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa pendapatan dan karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari peningkatan kualitas seseorang selaku guru.
            Urutan proses di atas menunjukkan bahwa jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi hanya bisa dicapai oleh guru yang memiliki kualitas profesional yang memadai. Sudah barang tentu alur pikir tersebut didasarkan pada asumsi bahwa peningkatan jenjang kepangkatan dan jabatan guru berjalan seiring dengan peningkatan pendapatannya.
            Proses dari timbulnya kesadaran untuk meningkatkan kemampuan profesional di kalangan guru, timbulnya kesempatan dan usaha, meningkatnya kualitas profesional sampai tercapainya jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi memerlukan iklim yang memungkinkan berlangsungnya proses di atas. Iklim yang kondusif hanya akan muncul apabila di kalangan guru timbul hubungan kesejawatan yang baik, harmonis, dan obyektif. Hubungan tersebut bisa dimunculkan antara lain lewat kegiatan profesional kesejawatan.
            Dengan demikian, untuk pembinaan dan peningkatan profesional guru perlu dikembangkan kegiatan professional kesejawatan yang baik, harmonis, dan obyektif. Secara sistematis pengembangan kesejawatan ini memerlukan:  
  1. wadah /kelembagaan
  2. bentuk kegiatan,
  3. mekanisme,
  4. standard professional practice.
B. Wadah dan kelembagaan

Wadah dan kelembagaan untuk pengembangan kesejawatan adalah kelompok yang merupakan organ bersifat non-struktural dan lebih bersifat informal. Wadah ini dikembangkan berdasarkan bidang studi atau rumpun bidang studi pada masing-masing sekolah. Anggota yang memiliki kepangkatan tertinggi dalam setiap rumpun diharapkan bisa berfungsi sebagai pembimbing.

Kalau ada anggota memiliki kepangkatan yang sama, maka diharapkan secara bergiliran salah satu darinya berfungsi sebagai pembimbing anggota yang lain. Dengan bentuk wadah dan kelembagaan semacam ini maka di setiap sekolah akan terdapat lebih dari satu kelompok.
Keberadaan kelompok akan memungkinkan para guru untuk bisa tukar fikiran dengan rekan sejawat mengenai hal ikhwal yang berkaitan interaksi guru dengan para siswa. Bagi seorang pekerja profesional, termasuk guru, komunikasi kesejawatan tentang profesi yang ditekuni sangatlah penting. Namun sayangnya, justru komunikasi kesejawatan inilah yang belum ada di kalangan profesi guru di tanah air kita.
C. Asah, asuh, asih

Kelompok yang dibentuk merupakan wadah kegiatan di mana antara anggota sejawat bisa saling asah, asuh dan asih untuk meningkatkan kualitas diri masing-masing khususnya dan mencapai kualitas sekolah serta pendidikan pada urnumnya.
Asah artinya satu dengan anggota sejawat yang lain saling membantu untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya. Asuh berarti di antara anggota kesejawatan saling membimbing dengan tulus dan ikhlas untuk peningkatan kemampuan profesional dan asih berarti di antara anggota kesejawatan terdapat hubungan kekeluargaan yang akrab.
            Oleh karena itu kelompok yang beranggotakan para guru suatu bidang studi sejenis harus menitik-beratkan pada aktifitas profesional.

Secara terperinci kegiatan kelompok ditujukan untuk:    
1.      Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses belajar mengajar.
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :  
a. Diskusi tentang satuan pelajaran.
b. Diskusi tentang substansi meteri pelajaran.
c. Diskusi pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi pengajaran.  
d. Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawat di kelas.  
e. Mengembangkan evaluasi penampilan guru oleh peserta didik.  
f.  Mengkaji hasil evaluasi penampilan guru oleh peserta didik sebagai feedback bagi anggota kelompok.    
  1. Meningkatkan penguasaan dan pengembangan keilmuan, khususnya bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain :
a. Kajian jurnal dan buku baru.
b. Mengikuti jalur pendidikan formal yang lebih tinggi.  
c. Mengikuti seminar-seminar dan penataran-penataran.  
d. Menyampaikan pengalaman penataran dan seminar kepada anggota kelompok.  
e. Melaksanakan penelitian.  
  
  1. Meningkatkan kemampuan untuk mengkomunikasikan masalah akademis.
Kegiatan yang dilaksanakan antara lain:  
a. Menulis artikel.  
b. Menyusun laporan penelitian.  
c. Menyusun makalah.  
d. Menyusun laporan dan review buku.  
D. Mekanisme
            Kegiatan kelompok dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan. Sebagaimana konsep asah, asuh dan asih, maka setiap anggota kelompok memiliki hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam setiap kegiatan tanpa memandang jenjang kepangkatan, jabatan dan gelar akademik yang disandangnya. Secara bergiliran setiap anggota melaksanakan kegiatan sebagaimana disebutkan di atas.
Input, feedback, komentar dan saran-saran sejawat atas penampilan salah seorang anggota kelompok kesejawatan diberikan baik secara tertulis maupun secara lisan sesuai dengan kebutuhan. Untuk hasil observasi kelas, misalnya kelompok kesejawatan mungkin bisa mengembangkan format observasi bisa dilaksanakan secara sistematis, objektif dan rasional, sehingga anggota yang diobservasi bisa memperoleh input tertulis di samping juga input lisan.
            Secara periodik ketua-ketua kelompok kesejawatan di setiap bidang studi di sekolah bisa mengadakan diskusi atau pertemuan guna membahas kemajuan dan perkembangan kelompok masing-masing.

E. Standar Profesional Guru

Pada dasarnya kelompok yang diuraikan di atas adalah merupakan wadah aktifitas profesional untuk meningkatkan kemampuan profesional guru. Aktifitas yang dimaksudkan ini tidak bersifat searah, melainkan bersifat multiarah. Artinya, aktifitas yang dilaksanakan bersifat komprehensif dan total yang mencakup presentasi, observasi, penilaian, kritik, tanggapan, saran, dan bimbingan.
            Untuk menjamin bahwa kegiatan kelompok bisa berlangsung dengan baik, sehingga dapat diujudkan hubungan timbal balik kesejawatan yang obyektif bebas dari rasa rikuh, pekewuh dan sentimen perlu dikembangkan suatu norma kriteria yang obyektif sebagai dasar untuk saling memberikan penilaian terhadap karya dan penampilan sejawat.
            Akan lebih baik kalau norma dan kriteria ini harus dikembangkan oleh masing-masing kelompok kesejawatan itu sendiri. Sudah barang tentu pengembangan norma dan kriteria kesejawatan ini berdasarkan acuan kerangka teoritis dan praktis yang bisa dikaji. Misalnya norma dan kriteria untuk menilai proses belajar mengajar yang baik bisa dikembangkan berdasarkan "kerangka perilaku" guru yang baik.






BAB III
KESIMPULAN

Profesionalisme adalah sebuah kata yang tidak dapat dihindari dalam era globalisasi dan internasionalisasi yang semakin menguat dewasa ini, dimana persaingan yang semakin kuat dan proses transfaransi disegala bidang merupakan salah satu ciri utamanya. Guru sebagai sebuah profesi yang sangat strategis dalam pembentukan dan pemberdayaan anak-anak penerus bangsa, memliki peran dan fungsi yang akan semakin signifikan dimasa yang akan datang. Oleh sebab itu pemberdayaan dan peningkatan kualitas guru sebagai tenaga pendidik, merupakan sebuah keharusan yang memerlukan penangan lebih serius. Profesinalisme guru adalah sebuah paradigma yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
Dalam konteks pemberdayaan guru menuju sebuah profesi yang berkualitas diamana secara empiris dapat dipertanggung jawabkan, memerlukan keterlibatan banyak pihak dan stakeholders, termasuk pemerintah sebagai penyelengara Negara. Diperlukan sebuah kondisi yang dapat memicu dan memacu para guru agar dapat bersikap, berbuat serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan bidang ke-ilmuannya masing-masing. Kondisi tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal lebih mengarah pada guru itu sendiri, baik secara individual maupun secara institusi sebagai sebuah entitas profesi yang menuntut adanya kesadaran, dan tanggung jawab yang lebih kuat dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik. Diperlukan sebuah komitmen yang dapat dapat dipertanggung jawabkan, baik secara ilmiah maupun moral, agar guru dapat benar-benar berpikir dan bertindak secara professional sebagaimana profesi-profesi lain yang menuntut adanya suatu keahlian yang lebih spesifik.
Faktor ekternal dalam konteks ini, lebih terkait pada bagaiamana kebijakan pemerintah dalam menodorong dan menciptakan kebijakan maupun atmosfir yang dapat merangsang dan melahirkan guru-guru yang profesional. Hal yang paling mendasar berkaitan dengan masalah ini adalah issu kesejahteraan bagi para guru, agar mereka dapat benar-benar fokus pada peran dan fungsinya sebagai tenaga pendidik.